MUTIARA
DI DALAM LUMPUR
Terkadang kita
menilai seseorang hanya dari penampilan fisik, tapi sebenarnya penampilan fisik
tak cukup untuk mengatribusikan sikap yang dimilki seseorang, bahkan bisa
menjadi bias (kabur, tidak jelas).
Seperti yang saya alami ketika saya diminta menjadi surveyor untuk
pemilukada Tangsel. Saya ditugaskan di suatu daerah di Tangsel. Awalnya saya
ditugaskan di kecamatan “X”, yang saya lihat kantor kelurahannya besar, bersih,
cukup bonafid. Saya berfikir pasti pegawai-pegawainya ramah. Ternyata apa yang
saya pikirkan sangat jauh berbeda. Baru datang saja, saya sudah dianggurkan
hampir satu jam disana. Padahal saya hanya butuh data penduduk saja, tetapi
pegawai yang saya tunggu tak kunjung datang. Alasannya banyak, lagi ke kamar
mandi lah, lagi makan siang, padahal saat itu belum waktunya makan siang.
Untunglah tiba-tiba ada yang menelepon, memberitahukan bahwa saya dipindah
tugaskan di kecamatan sebelah. Saya pun langsung pergi begitu menerima perintah
itu.
Saat saya
berpikir, jangan-jangan di kecamatan sebelah pun sama saja, apalagi ketika saya
kesana sudah saatnya makan siang, pasti tidak ada yang melayani. Tapi saya
tetap berpikir positif dan berdoa mudah-mudahan saya diterima dengan baik
disana. Dan untungnya apa yang saya
harapkan terjadi, pegawai-pegawai disana sangat ramah dan welcome sekali,
berbeda dengan perlakuan sebelumnya. Meskipun kantornya tidak terlalu
besar. Bahkan saya hampir dibantu oleh
semua pegawai disana padahal satu orang pun cukup untuk membantu saya. Saya
juga diajak ngobrol oleh pegawai-pegawai disana, ditanya asalnya dari mana,
kuliah dimana, dan lain-lain. Mungkin juga perbedaan perlakuan yang saya dapat
dipengaruhi juga oleh kultur, atau lingkungan sekitar. Memang kantor kecamatan
yang sebelumnya saya kunjungi terletak di lingkungan yang agak metropolitan.
Tantangan
terbesar yang harus saya hadapi setelah itu adalah mencari alamat-alamat
responden yang tentu saja tidak mudah. Bahkan kalau ketemu pun belum tentu
orangnya mau diwawancarai. Berkali-kali saya mendapatkan perlakuan seperti itu.
Bahkan sampai ada yang menyangka saya seroang sales dan peminta sumbangan
karena membawa-bawa map kemana-mana. Rata-rata orang yang menolak diwawancarai
karena ketidak mampuan mereka dalam hal pemilukada ini, lagian juga ga ada sosialisasinya, kata mereka. Ada daerah yang
bahkan para penduduknya tidak tahu akan diadakan pemilukada Tangsel, di sini mah ga gembar-gembor tuh soal pemilu
Tangsel, kita aja baru tahu dari
Neng. Saat dikatakan itu saya hanya tersenyum simpul saja.
Tapi meskipun
mereka menolak untuk diwawancarai, mereka tidak langsung mengusir saya begitu
saja. Bahkan dibandingkan dengan orang yang mau saya wawancarai, perlakuan
mereka justru lebih baik. Saya diajak singgah sebentar di rumahnya, diajak
ngobrol, diberi tempat teduh ketika hujan deras, dikasih makan, dan
perlakuan-perlakuan lainnya yang tanpa pamrih dari mereka padahal saya tahu
mereka pun bukan orang yang berada, tapi mereka tetap menghormati tamu dengan
baik, dan hal itu tidak saya dapatkan di responden yang rumahnya cukup besar
dan berpendidikan tinggi.
Yang saya kagumi
dari mereka, dengan keterbatasan yang mereka miliki, mereka tidak merasa rendah
diri, tetap apa-adanya, tetap berusaha menjamu tamu padahal mungkin untuk
sehari-haripun mereka masih kesulitan. Dan intinya mereka tulus untuk melakukan
semuanya, tidak punya pikiran jangan-jangan saya orang yang jahat, mau menipu,
dan lain-lainnya. Meskipun mereka tidak berpendidikan tinggi, keadaan ekonomi
pas-pasan, keramahan mereka tetap diutamakan, bahkan untuk orang yang tidak
mereka kenal. Saya banyak belajar dari pengalaman ini, yang membantu membuat
saya menjadi lebih baik lagi. Dan uniknya, saya belajar bukan dari orang yang
berpendidikan tinggi dan mengerti pemerintahan, justru dari orang yang bahkan
sekolahnya pun tak tamat dan buta masalah pemerintahan. Yang penting saya mah masi bisa milih presiden neng!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar