Jumat, 10 Desember 2010

SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI


Pada zaman dahulu, psikologi belum merupakan ilmu yang berdiri sendiri, akan tetapi termasuk suatu cabang dari “induk ilmu” yakni filsafat. Segala sesuatu bersumber pada filsafat dan diuraikan berdasarkan filosofi. Penyelidikan atau percobaan belum dilakukan dengan sempurna. Metode yang dipakai ialah metode deduktif dan psikologinya disebut psikologi filosofis.
Yang menjadi objek ialah hal-hal mengenai asal-usul jiwa, wujud jiwa, akhir jadinya dan sebagainya. Objek-objek ini adalah soal di luar alam nyata, dan tidak berwujud dengan nyata, penyelidikannya juga tidak dengan ilmu biasa/fisika. Oleh karena itu psikologi itu disebut psikologi metafisis.
Di Asia seperti di India, ahli-ahli mengutamakan psikologi batin atau parapsikologi, yaitu mengenai peristiwa dan kodrat jiwa umpamanya mengenai hubungan batin antara orang yang berjauhan, hubungan dengan roh-roh, hubungan dengan pengaruh-pengaruh gaib dan sebagainya. Di Eropa sampai abad pertengahan(1500-1789) psikologi filosofis dan metafisis itulah yang menjadi pegangan.
Di samping itu timbul pula aliran skolastik yang dipelopori oleh Thomas Aquino, seorang ulama katolik. Ia mengatakan bahwa tubuh dan jiwa merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Keyakinan dan paham agama menjadi dasar utama dari metode serta uraian-uraiannya. Manusia mempunyai kesanggupan luhur, yakni kesanggupan yang memungkinkan adanya hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
Tetapi dalam abad-abad kemudian, para ahli dan pujangga mengutamakan rasio(akal), misalnya Descartes. Ia mengatakan bahwa ilmu yang benar hanya dapat diperoleh dengan berpikir, bukan dengan pengalaman atau percobaan. Akal adalah sumber segala kebenaran. Psikologi harus diuraikan dengan kekuatan rasio yang semenjak lahirnya mengandung pengertian sejati dan kebenaran. Maka dari itu aliran ini disebut rasionalisme, yang menyelidiki dan menguraikan proses-proses jiwa dan gejala-gejala jiwa.
Berbeda dengan aliran-aliran rasionalisme, timbul pula aliran empirisme yang dipelopori oleh Bacon dan J.Locke. Menurut ahli-ahli empiris ini psikologi tidak dapat didasarkan dan diuraikan dengan falsafah atau teologi, melainkan harus berdasarkan pengalaman-pengalaman. Peristiwa – peristiwa diamati, dikumpulkan dan hasil pengamatan itu diambil kesimpulan atau ketentuan. Jelaslah bahwa cara ini menentukan suatu kaidah umum dari keterangan khusus. Metode ini terkenal dengan metode induktif.
Dalam abad ke 17 sampai 19 psikologi dipengaruhi oleh ilmu alam. Mereka menganggap bahwa jiwa pun tunduk kepada hukum-hukum alam biasa. Maka mereka menyelidiki dan menguraikan proses dan pernyataan psikis menurut ketentuan dan hukum alam, yaitu hukum sebab akibat (kausal). Gejala psikis adalah akibat perangsang dari luar serta perubahan otak dan syaraf.
Terpengaruh oleh perkembangan ilmu kimia, yang menyatakan bahwa sesuatu itu terjadi dari zat terkecil dari unusr pokok, maka dalam psikologi dicari pula unsur terkecil yang menjadi elemen pokok bagi jiwa. Ahli-ahli itu berpendapat, bahwa jumlah atau kumpulan unsur-unsur mewujudkan keseluruhan atau kebulatan yang berarti. Dengan demikian jiwa dianggap sebagai benda mati atau mesin saja, yang prosesnya berlangsung mekanis dan tunduk kepada hukum-hukum yang pasti. Manusia diperlakukan sebagai objek belaka. Pribadinya tidak dapat mempengaruhi atau mengatur proses dan pernyataan psikisnya sendiri. Perpaduan ini disebut asosiasi.
Unsur-unsur berpadu dengan sendirinya menjadi suatu kebulatan menurut hukum-hukum, yang kemudian disebut psikologi.
Karena unsur-unsur yang berdiri sendiri itu kemudian menjadi suatu kebulatan, yang berarti merupakan suatu mozaik (suatu yang tersusun dari bagian-bagian yang lepas), maka psikologi itu kemudian dinamakan psikologi mozaik atau psikologi keelemenan.
Kemudian pada tahun 1832-1920 datanglah Wundt yang berpendirian lain daripada psikologi atau psikologi mozaik itu. Asosiasi, katanya, memang ada, jika jiwa (kesadaran) dalam keadaan pasif. Dalam keadaan aktif proses psikis berlangsung karena apersepsi, yang memberi arah dan mengatur proses pernyataan jiwa. Tegasnya, ia berpendapat bahwa aku atau pribadi manusia adalah aktif, dapat mempengaruhi proses pernyataan jiwa serta memberi corak kepadanya. Kalau paham asosiasi menyatakan bahwa totalitas sama saja dengan jumlah unsur-unsur yang lepas, maka paham apersepsi menyatakan bahwa komplek dan proses psikis adalah suatu totalitas, yang lebih daripada jumlah kumpulan unsur-unsur belaka.
Karena itu Wundt disebut sebagai pelopor dari psikologi modern. Seperti psikologi gestalt, psikologi struktur dan sebagainya, paham dan eksperimennya sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu seterusnya, yaitu tahun 1900 sampai sekarang.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar