Jumat, 13 April 2012

Short Story 3

cerita ketiga cerita ketiga.......silakan silakannn.......



When The Sun Goes Down...
Namaku Raka. Kata orang aku cukup tampan dan memenuhi syarat sebagai lelaki ideal. Idaman para ibu-ibu untuk jadi mantu bagi anak gadisnya. Tak sedikit wanita yang menyukaiku, menembakku terang-terangan, atau hal-hal konyol lainnya untuk menarik perhatianku.
Sayangnya, aku tidak pernah tertarik pada mereka. Atau luluh dengan perhatian yang mereka berikan. Pernah aku berpacaran dengan salah satu dari mereka. Tapi alasanku berpacaran dengannya karena saat itu aku butuh partner wanita untuk datang ke sebuah acara ulang tahun teman. Sudah, petualanganku dengannya berakhir setelah pesta usai. Tapi biarpun sudah berakhir kisahku dengannya, ia tetap membangga-banggakan dirinya karena pernah menjadi  mantanku. Mantan seorang Raka Aditya yang tampan tapi konon dingin pada tiap wanita.
Tapi bukan berarti aku tidak punya standar pasangan ideal. Tentu saja aku punya, seperti layaknya orang lain. Standar pasangan idealku tidak muluk-muluk, cukup bisa mengerti dan memahami diriku apa adanya dan siap berkomitmen serius. Pernahkah aku menemukannya? Hampir. Ada seseorang yang pernah singgah dalam kehidupan cintaku. Orang itu memenuhi standar pasangan ideal yang aku impi-impikan selama ini. Dan yang lebih membuatku bahagia, ia juga mencintaiku seutuhnya.
Betapa bahagianya kehidupan cintaku selama 6 bulan bersamanya. Ia begitu perhatian dan tulus padaku. Dan sebisa mungkin aku pun berusaha membalas semua perhatiannya padaku. Tapi, ada satu kendalaku dengannya, ia mempunyai pasangan lain sebelum berpacaran denganku, bahkan sudah menikah dan memiliki satu orang anak. Jujur ketika pertama kali ia menyatakan cinta, sebenarnya aku ingin menolaknya. Ingat Raka, dia sudah menikah bahkan sudah punya anak! Tapi, egoku yang ingin memilikinya sudah tak bisa ku bendung lagi.
Dengan syarat pacaran diam-diam atau bahasa gaulnya adalah backstreet, aku pun mulai mengarungi indahnya cintaku dengannya. Meskipun aku harus menahan kesal setengah mati kalau orang dirumahnya sudah meneleponnya dan meminta pulang. Biasanya aku langsung cemberut kalau ia sudah diminta pulang, tapi ia selalu bisa membujukku dengan rayuan mautnya agar aku tidak kesal. Ah cintaku!
Aku tidak pernah mengatakan hal ini kepada teman-temanku, bahkan kepada kedua orang tuaku. Karena mereka sudah pasti akan menghinaku, mencaci maki, dan mungkin komentar-komentar lain yang tidak kalah menyakitkan, ah, aku belum siap untuk menghadapi semua. Mungkin nanti kalau seandainya ia sudah bercerai aku akan melamarnya. Ya, disaat itulah baru aku akan mengatakan hal yang sebenarnya pada semua orang.
Itu adalah mimpi terbesarku bersamanya. Aku selalu ingat ia sering berkata, “seandainya aku bertemu denganmu lebih dahulu, mungkin kita tak perlu berpura-pura terus seperti ini Raka, aku ingin memilikimu secara utuh dan aku ingin kamu memilikiku secara utuh pula”. Dan seperti biasa aku pasti langsung memeluknya erat kalau ia sudah berkata seperti ini.
*****
Manis pahitnya kisah cintaku selama 6 bulan membuatku benar-benar menyadari akan pentingnya cinta. Kalau pikiranku sedang berimajinasi tinggi, aku akan mengatakan bahwa tidak ada kisah cinta sesempurna milikku dengannya. Ya, aku memang sudah tergila-gila dengannya. Aku sudah tidak peduli lagi kalau ia sudah dimiliki oleh seseorang, dicintai oleh seseorang, diharapkan kehadirannya setiap hari di rumahnya. Aku hanya tahu bahwa ia mencintaiku. Titik!
Adakalanya badai datang mengamuk disaat kami sedang bersama. Konflik-konflik kecil atau besar sering terjadi antara aku dengannya. Biasanya, lebih sering disebabkan olehku yang kadang-kadang cemburu dengannya. Ia jarang sekali kesal denganku. Paling-paling karena keras kepalaku muncul atau kalau aku ketahuan merokok di depannya. Ia pun tidak pernah langsung emosi, ia dengan lembut menasihatiku, memperingatkanku bahwa itu merugikanku sendiri, dan kalau sudah begitu biasanya aku langsung luluh dan ia sudah berkurang rasa kesalnya.
Pernah aku bertemu dengannya di sebuah mall. Hari itu tidak ada jadwal kencan. Ia perlu menemani anaknya membeli baju baru. Aku pun sedang berjalan bersama teman-temanku. Dan kebetulan aku bertabrakan dengannya, dan kami sangat terkejut. Tapi kami bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan kami bersikap tidak saling mengenal.  Malamnya ia langsung meneleponku dan mengatakan andai saja tadi tidak bersama anaknya, dan aku tidak sedang bersama-sama temanku, ia akan mengajakku keliling-keliling mal seperti yang biasa kami lakukan berdua.
Dia adalah segala-galanya untukku. Orang yang bisa memahamiku, membimbingku, tahu kegalauanku, pokoknya dia lebih mengenalku dibandingkan aku sendiri. Kadang-kadang aku berpikir, pantaskah aku bersanding dengannya? Mengingat diriku masih bersandar dan tergantung padanya. Belum bisa memberikan yang sebanding dengan apa yang telah ia berikan padaku. Tapi ketika kurundingkan hal ini dengannya, ia hanya tersenyum dan membelai rambutku. Dan ia hanya mengatakan, “ jangan pikirkan hal itu, itu hanya akan memberatkanmu ketika kau berusaha keras membalas jasa seseorang. Lakukan yang terbaik untuk seseorang itu, dan seseorang itu pasti mengerti kalau kau sudah membalas jasamu dengan cara seorang Raka Aditya.”
Salahkah aku kalau menganggap ia adalah matahariku?
*****
Bulan demi bulan berlalu, tak ada yang berubah di antara kami. Ia tetap perhatian dan sayang padaku, begitupun aku. Hanya seiring berjalannya waktu, aku semakin cemas akan kelangsungan hubungan kami. Mampukah kami bertahan? Sanggupkah kami tetap setia diantara banyaknya kendala yang ada? Mungkinkah ia tetap mencintaiku ? mungkinkah aku bisa tetap mencintainya? Mungkinkah hubungan ini berlanjut seperti apa yang kami harapkan?
Berkali-kali ia mengatakan akan menceraikan pasangannya. Tapi banyak alasan mengapa sampai saat ini ia belum mengajukan gugatan cerai. Ia mengatakan tidak punya alasan kuat untuk bercerai dan ia pun memikirkan bagaimana nasib anaknya kelak kalau kami menikah. Aku sudah mengatakan siap menerima segala resikonya bahkan sampai resiko yang paling buruk, asalkan aku bisa hidup bahagia dengannya, tapi tidak ada sepatah kata pun yang ia ucapkan saat itu.
Aku kecewa akan sifatnya yang tidak berani memutuskan. Aku tahu sulit memang menghadapi masalah seperti ini, rumit, pelik. Tapi aku siap menghadapi itu semua. Meskipun aku harus mati untuk mendapatkan semua itu.
Aku sering menuduhnya kalau ia sudah tidak mencintaiku lagi, tidak sayang lagi sebagaimana aku menyayanginya, bahkan terlalu menyayanginya. Dia berusaha meyakinkanku kalau ia masih mencintaiku, menyayangiku, bahkan cintanya tumbuh semakin besar padaku. Tapi bukan hanya itu yang aku butuhkan, aku butuh hubungan yang bebas, tidak sembunyi-sembunyi terus, sebagai bukti kalau ia benar-benar mencintaiku.
Kumohon matahariku, aku ingin memilikimu seutuhnya dan aku ingin kamu memilkiku secara utuh pula!
*****
Satu tantangan besar untuknya, aku sudah tidak peduli lagi, cerai atau aku akan meninggalkan dia untuk selama-lamanya! Aku tahu aku sedikit kasar padanya ketika mengajukan tantangan ini . ia pun paham bahwa aku sepertinya membutuhkan kejelasan darinya. Ia meminta waktu sebulan untuk menjawab pertanyaanku. Aku menolak, kuajukan waktu 2 minggu dan ia pun menerimanya.
Hope that you’ll bring me a good news.
*****
 2 minggu. Betapa resahnya hatiku. Belum pernah aku terpisah dengannya selama ini. Aku cemas memikirkan keputusannya, bagaimana kalau ia tidak mau bercerai? Ah, apapun keputusannya aku siap.
Tak sabar rasanya menunggu hari esok. Karena esok adalah hari penting dimana ia akan memberitahukan keputusan finalnya. Apakah esok akan menjadi awal dari segalanya ataukah akhir dari kisah cinta yang sudah terajut selama beberapa bulan ini? Aku hanya bisa pasrah menunggu kedatangannya, berharap esok bukanlah hari terakhir aku bertemu dengannya.
*****
Mercedes Benz hitam metalik meluncur memasuki halaman rumahku. Aku tersentak melihat mobil yang sangat kukenal itu. Hatiku berdebar-debar tidak karuan. Kupasang wajah tidak peduliku, dan pura-pura membaca koran pagi. Tidak mengangkat muka seinci pun sampai ia berdiri tegak di hadapanku. Dan keluarlah suara yang selalu aku rindukan selama 2 minggu ini,
 “ tak perlu pura-pura membaca koran Raka, aku tahu kamu hanya mengalihkan perhatian dariku padahal sebenarnya kamu rindu aku kan?”. Hatiku makin berdebar kencang. Begitulah ia, ia tahu apapun bahkan sampai hal terkecil dariku.
Tapi aku tetap pasang wajah tidak peduli, “sudah kau putuskan jawabannya? Aku menunggumu bukan untuk tujuan lain selain jawabanmu.”
“ya, jawaban yang akan mengubah kehidupanmu.” Tanpa kupersilakan ia menarik kursi dan duduk dihadapanku. Memandangku lembut dan menyunggingkan senyum manisnya yang selalu aku suka.
Aku meletakkan koran yang sedang aku pegang. Meskipun aku bersikap tenang seperti tidak terjadi apapun dan aku sedang tidak menunggu apapun, keringatku mengalir deras dan tanganku saling meremas saking gugupnya. Aku yakin ia tahu itu, ia mahir membaca gerakan tubuhku.
“ aku memutuskan untuk meninggalkan hubungan kita Raka, maaf!”. Ia tertunduk, tak berani menatap mataku. Aku terdiam, membisu.
“Raka? Kamu kecewa?”. Sekarang ia menatapku dengan penuh belas kasih.
“ kalau kamu menjadi aku kamupun akan merasakan kekecewaan yang sama sepertiku,”
“ apakah hubungan kita jadi berakhir di sini begitu saja,?”. Pertanyaan bodoh menurutku.
“sudah tentu!apa lagi yang kau pikirkan?” bentakku kesal.
“aku berpikir mungkin kita memutuskan pacaran kita karena aku mau kamu menikah denganku! Tak inginkah kamu Raka?”. Ia tersenyum. Aku terdiam. Takut ini hanya sebuah lelucon saja.
Ia pun tidak sabar dan mengguncang-guncangkan bahuku keras, “ impian kita terwujud Raka, kita akan menikah! Aku sudah bercerai dan setuju kalau aku menikah lagi. Raka, kita akan banyak melalui waktu bersama dan selama-lamanya Raka, selama-lamanya!”
Aku hanya bengong, tak percaya dengan apa yang dia katakan. Oh Tuhan? Nyatakah ini?
Dengkulku semakin lemas ketika ia membisikkanku lembut, “will you marry me?”
Mukaku bersemburat merah, dan tertunduk, “yes, I will”. Jawabku lirih.
*****
Satu-satunya masalah saat ini buatku adalah bagaimana caranya agar aku mendapatkan izin untuk menikah dari orang tuaku. Tentu saja aku harus mendapatkannya. Tidak bisa tidak. Kepalaku sampai pusing memikirkannya. Situasinya serba salah, kalau aku tidak bilang aku bisa dibilang anak durhaka, tapi kalau aku bilang yang sebenarnya aku takut mereka shock, karena jujur saja semua ini memang terburu-buru sekali.
Dengan nekat akhirnya aku memberitahukan perihal aku ingin menikah pada orang tuaku. Reaksi mereka tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya, mereka antusias menyambut keinginanku untuk membina rumah tangga yang sah. Sepertinya mereka memang sudah menunggu saat-saat ini, tidak apa-apa walaupun sudah pernah menikah, yang penting benar sudah resmi bercerai dan tidak ada sengketa kepengurusan anak lagi. Bahkan ayah menyuruhku mengajak calonku datang ke rumah untuk saling mengenal lebih dekat. Akhirnya....
*****
Ketika kuberitahukan kabar itu kepadanya, ia juga sangat antusias. Ia menyanggupi untuk datang nanti siang. Yang ia khawatirkan adalah apakah kedua orang tuaku akan menerima ia apa adanya? Kujawab pasti orang tuaku menerima, orang tuaku tidak akan tega menghalangi kebahagiannku.
Ibuku sudah masak enak untuk menyambut besannya, ayahku pun sudah berpakaian rapi. Tak sabar menunggu calon mantunya datang. Suara klakson berbunyi nyaring menandakan kehadirannya. Aku berlari ke pintu depan, dan membimbingnya masuk, lalu mengenalkannya pada orang tuaku,
“ayah, ibu, kenalin ini calon Raka”.
Ayah dan ibu hanya memandang tidak percaya kepada calon yang baru aku kenalkan. Loh? Kenapa mereka? Kenapa sikap mereka jadi berubah?
“ini...ini..calon kamu Raka?benar? kamu yakin?” ibu bertanya seolah-olah aku membawa makhluk luar angkasa dari Pluto.
“iya, ibu, ini calon mantu ibu, Eka namanya!”.
Kemudian tanpa kuduga-duga ayah berteriak marah, “ usir dia!keluarkan ia dari rumah ini, jangan pernah datang lagi kesini atau berhubungan dengan Raka. Usir dia Rakaa!ayah tidak sudi meresmikan hubungan kalian.”
Eka tersentak kaget tak menyangka reaksi ayahku akan seekstrim itu. Dari awal sebenarnya Eka sudah khawatir akan hal ini, tapi ia tidak menyangka kalau akan begini jadinya.
“ayah, tolong jangan lakukan itu. Raka cinta setengah mati sama Eka! Raka hanya ingin hidup bahagia! Selama ini Raka selalu menuruti apa mau ayah dan ibu, semua harapan ayah dan ibu selalu Raka penuhi. Tapi ternyata ayah tega menghancurkan satu-satunya harapan Raka!”. Aku membalas tidak kalah kasarnya. Wajah Eka pucat, melangkah mundur siap meninggalkan rumahku.
“sudahlah Raka, mungkin bukan ini jalan yang terbaik untuk kita. Aku paham kok perasaan ayahmu, aku tahu ia hanya memberikan yang terbaik buat kamu, tapi mungkin yang terbaik buat kamu bukanlah aku Raka!sudahlah kita lupakan saja semua impian kita ini”. Lalu ia pun bergegas pergi, masuk ke mobilnya, dan meniggalkanku untuk selama-lamanya.
“sekali lagi ayah melihat ia disini, tak akan ayah beri ampun!jangan dekati ia lagi Raka, awas kamu!”
Ia pun lalu masuk ke kamarnya dan membanting pintu. Ibuku sudah menangis dari tadi, ibu pun sepertinya kecewa akan keputusanku kali ini. Ia tidak mau kuajak bicara dan bangkit berdiri membereskan semua makanan-makanan yang belum tersentuh.
*****
Mungkinkah ia memang bukan jodohku Tuhan? Lalu siapa jodohku kelak? Akankah aku menemukannya? Atau aku tidak akan pernah menemukannya?
Di rumah suasananya berbeda dari biasanya, kaku, seperti ada yang mengganjal. Aku berbicara kepada orang tuaku seperlunya saja. Tidak ada lagi obrolan-obrolan ringan atau diskusi keluarga seperti dulu lagi. Sepertinya mereka shock dengan sikapku dan langsung mempengaruhi mereka total.
Oh Tuhan....mengapa akhirnya harus seperti ini?
*****
Akhirnya setelah sebulan mendiamkanku ayahku mau ngobrol-ngobrol lagi denganku. Yah, walaupun tetap saja aku merasa ada suasana asing yang kuat. Tapi lama kelamaan kebekuan mulai mencair dan kami dapat bersenda gurau seperti dulu lagi.
Tak sadar aku melontarkan pertanyaan yang dulu sering aku ingin tanyakan tapi tak pernah ada keberanian untuk mengungkapkannya, “ kenapa sih ayah benci sekali sama Eka?”. Ayahku langsung menatapku, mengalihkan pandangannya dan menghela nafas panjang.
 “ ayah tidak pernah melarang kamu untuk bergaul dengan siapapun, kamu mau berpacaran atau tidak, kamu mau menikah dengan siapa, bahkan kalau pilihan kamu itu sudah pernah menikah sebelumnya, tapi ada satu yang ayah tidak bisa terima dari sosok seorang Eka, pilihanmu itu.” Aku menunggu dengan tidak sabar.
“apa, ayah?apa yang ayah tidak bisa terima dari Eka? Dia mapan, dia perhatian, mandiri, tahu segala-galanya tentang Raka, kurang apa lagi ayah?”.
Ayah menggaruk-garuk rambutnya dan memejamkan mata sejenak. Sebelum akhirnya ia membuka matanya dan berkata, “ satu-satunya yang ayah dan ibu tidak bisa terima dari dia karena ia adalah laki-laki Raka, sama seperti kamu!”
*****
Eka sudah pergi. Entah kemana, kudengar ia rujuk kembali dengan istrinya. Biarlah, aku sudah tidak peduli, atau lebih tepatnya berusaha untuk tidak peduli. Tentu saja, sulit untuk melupakan 6 bulan kisah cintaku bersamanya. Dia adalah cinta sejatiku.
Ayah dan ibu berusaha menyembuhkan penyakitku ini. Tapi semua nihil!tidak ada satu wanita pun yang aku sukai. Tidak ada getaran-getaran aneh kalau aku berdekatan dengan seorang wanita, secantik apapun ia. Percuma ayah, percuma ibu, aku hanya merasakan getaran-getaran cinta kalau aku sedang bersama Eka, hanya dia......
Tapi aku sudah tidak mungkin mendapatkan ia lagi. Aku tidak mau mencintai orang selain Eka, tidak mau! Karena dialah satu-satunya yang memahami aku, dia matahariku.
Tolong aku, tolong aku Eka! Kamu dimana? Tak maukah kamu membagikan sinarmu lagi padaku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar