When The Sun Goes Down...
Namaku Raka. Kata orang aku cukup tampan dan memenuhi
syarat sebagai lelaki ideal. Idaman para ibu-ibu untuk jadi mantu bagi anak
gadisnya. Tak sedikit wanita yang menyukaiku, menembakku terang-terangan, atau
hal-hal konyol lainnya untuk menarik perhatianku.
Sayangnya, aku tidak pernah tertarik pada mereka. Atau
luluh dengan perhatian yang mereka berikan. Pernah aku berpacaran dengan salah
satu dari mereka. Tapi alasanku berpacaran dengannya karena saat itu aku butuh
partner wanita untuk datang ke sebuah acara ulang tahun teman. Sudah,
petualanganku dengannya berakhir setelah pesta usai. Tapi biarpun sudah
berakhir kisahku dengannya, ia tetap membangga-banggakan dirinya karena pernah
menjadi mantanku. Mantan seorang Raka
Aditya yang tampan tapi konon dingin pada tiap wanita.
Tapi bukan berarti aku tidak punya standar pasangan
ideal. Tentu saja aku punya, seperti layaknya orang lain. Standar pasangan
idealku tidak muluk-muluk, cukup bisa mengerti dan memahami diriku apa adanya dan
siap berkomitmen serius. Pernahkah aku menemukannya? Hampir. Ada seseorang yang
pernah singgah dalam kehidupan cintaku. Orang itu memenuhi standar pasangan
ideal yang aku impi-impikan selama ini. Dan yang lebih membuatku bahagia, ia
juga mencintaiku seutuhnya.
Betapa bahagianya kehidupan cintaku selama 6 bulan
bersamanya. Ia begitu perhatian dan tulus padaku. Dan sebisa mungkin aku pun
berusaha membalas semua perhatiannya padaku. Tapi, ada satu kendalaku
dengannya, ia mempunyai pasangan lain sebelum berpacaran denganku, bahkan sudah
menikah dan memiliki satu orang anak. Jujur ketika pertama kali ia menyatakan
cinta, sebenarnya aku ingin menolaknya. Ingat
Raka, dia sudah menikah bahkan sudah punya anak! Tapi, egoku yang ingin
memilikinya sudah tak bisa ku bendung lagi.
Dengan syarat pacaran diam-diam atau bahasa gaulnya
adalah backstreet, aku pun mulai mengarungi indahnya cintaku dengannya.
Meskipun aku harus menahan kesal setengah mati kalau orang dirumahnya sudah
meneleponnya dan meminta pulang. Biasanya aku langsung cemberut kalau ia sudah
diminta pulang, tapi ia selalu bisa membujukku dengan rayuan mautnya agar aku
tidak kesal. Ah cintaku!
Aku tidak pernah mengatakan hal ini kepada
teman-temanku, bahkan kepada kedua orang tuaku. Karena mereka sudah pasti akan
menghinaku, mencaci maki, dan mungkin komentar-komentar lain yang tidak kalah
menyakitkan, ah, aku belum siap untuk menghadapi semua. Mungkin nanti kalau
seandainya ia sudah bercerai aku akan melamarnya. Ya, disaat itulah baru aku
akan mengatakan hal yang sebenarnya pada semua orang.
Itu adalah mimpi terbesarku bersamanya. Aku selalu
ingat ia sering berkata, “seandainya aku bertemu denganmu lebih dahulu, mungkin
kita tak perlu berpura-pura terus seperti ini Raka, aku ingin memilikimu secara
utuh dan aku ingin kamu memilikiku secara utuh pula”. Dan seperti biasa aku
pasti langsung memeluknya erat kalau ia sudah berkata seperti ini.
*****
Manis pahitnya kisah cintaku selama 6 bulan membuatku
benar-benar menyadari akan pentingnya cinta. Kalau pikiranku sedang
berimajinasi tinggi, aku akan mengatakan bahwa tidak ada kisah cinta sesempurna
milikku dengannya. Ya, aku memang sudah tergila-gila dengannya. Aku sudah tidak
peduli lagi kalau ia sudah dimiliki oleh seseorang, dicintai oleh seseorang,
diharapkan kehadirannya setiap hari di rumahnya. Aku hanya tahu bahwa ia
mencintaiku. Titik!
Adakalanya badai datang mengamuk disaat kami sedang
bersama. Konflik-konflik kecil atau besar sering terjadi antara aku dengannya.
Biasanya, lebih sering disebabkan olehku yang kadang-kadang cemburu dengannya.
Ia jarang sekali kesal denganku. Paling-paling karena keras kepalaku muncul
atau kalau aku ketahuan merokok di depannya. Ia pun tidak pernah langsung
emosi, ia dengan lembut menasihatiku, memperingatkanku bahwa itu merugikanku
sendiri, dan kalau sudah begitu biasanya aku langsung luluh dan ia sudah
berkurang rasa kesalnya.
Pernah aku bertemu dengannya di sebuah mall. Hari itu
tidak ada jadwal kencan. Ia perlu menemani anaknya membeli baju baru. Aku pun
sedang berjalan bersama teman-temanku. Dan kebetulan aku bertabrakan dengannya,
dan kami sangat terkejut. Tapi kami bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan
kami bersikap tidak saling mengenal. Malamnya ia langsung meneleponku dan mengatakan andai saja tadi tidak
bersama anaknya, dan aku tidak sedang bersama-sama temanku, ia akan mengajakku
keliling-keliling mal seperti yang biasa kami lakukan berdua.
Dia adalah segala-galanya untukku. Orang yang bisa
memahamiku, membimbingku, tahu kegalauanku, pokoknya dia lebih mengenalku
dibandingkan aku sendiri. Kadang-kadang aku berpikir, pantaskah aku bersanding
dengannya? Mengingat diriku masih bersandar dan tergantung padanya. Belum bisa
memberikan yang sebanding dengan apa yang telah ia berikan padaku. Tapi ketika
kurundingkan hal ini dengannya, ia hanya tersenyum dan membelai rambutku. Dan
ia hanya mengatakan, “ jangan pikirkan hal itu, itu hanya akan memberatkanmu
ketika kau berusaha keras membalas jasa seseorang. Lakukan yang terbaik untuk
seseorang itu, dan seseorang itu pasti mengerti kalau kau sudah membalas jasamu
dengan cara seorang Raka Aditya.”
Salahkah aku kalau menganggap ia adalah matahariku?
*****
Bulan demi bulan berlalu, tak ada yang berubah di
antara kami. Ia tetap perhatian dan sayang padaku, begitupun aku. Hanya seiring
berjalannya waktu, aku semakin cemas akan kelangsungan hubungan kami. Mampukah
kami bertahan? Sanggupkah kami tetap setia diantara banyaknya kendala yang ada?
Mungkinkah ia tetap mencintaiku ? mungkinkah aku bisa tetap mencintainya?
Mungkinkah hubungan ini berlanjut seperti apa yang kami harapkan?
Berkali-kali ia mengatakan akan menceraikan
pasangannya. Tapi banyak alasan mengapa sampai saat ini ia belum mengajukan
gugatan cerai. Ia mengatakan tidak punya alasan kuat untuk bercerai dan ia pun
memikirkan bagaimana nasib anaknya kelak kalau kami menikah. Aku sudah
mengatakan siap menerima segala resikonya bahkan sampai resiko yang paling
buruk, asalkan aku bisa hidup bahagia dengannya, tapi tidak ada sepatah kata
pun yang ia ucapkan saat itu.
Aku kecewa akan sifatnya yang tidak berani memutuskan.
Aku tahu sulit memang menghadapi masalah seperti ini, rumit, pelik. Tapi aku
siap menghadapi itu semua. Meskipun aku harus mati untuk mendapatkan semua itu.
Aku sering menuduhnya kalau ia sudah tidak mencintaiku
lagi, tidak sayang lagi sebagaimana aku menyayanginya, bahkan terlalu
menyayanginya. Dia berusaha meyakinkanku kalau ia masih mencintaiku,
menyayangiku, bahkan cintanya tumbuh semakin besar padaku. Tapi bukan hanya itu
yang aku butuhkan, aku butuh hubungan yang bebas, tidak sembunyi-sembunyi
terus, sebagai bukti kalau ia benar-benar mencintaiku.
Kumohon matahariku, aku ingin memilikimu seutuhnya dan
aku ingin kamu memilkiku secara utuh pula!
*****
Satu tantangan besar untuknya, aku sudah tidak peduli
lagi, cerai atau aku akan meninggalkan dia untuk selama-lamanya! Aku tahu aku
sedikit kasar padanya ketika mengajukan tantangan ini . ia pun paham bahwa aku
sepertinya membutuhkan kejelasan darinya. Ia meminta waktu sebulan untuk
menjawab pertanyaanku. Aku menolak, kuajukan waktu 2 minggu dan ia pun
menerimanya.
Hope that you’ll bring me a good news.
*****
2 minggu.
Betapa resahnya hatiku. Belum pernah aku terpisah dengannya selama ini. Aku
cemas memikirkan keputusannya, bagaimana kalau ia tidak mau bercerai? Ah,
apapun keputusannya aku siap.
Tak sabar rasanya menunggu hari esok. Karena esok
adalah hari penting dimana ia akan memberitahukan keputusan finalnya. Apakah
esok akan menjadi awal dari segalanya ataukah akhir dari kisah cinta yang sudah
terajut selama beberapa bulan ini? Aku hanya bisa pasrah menunggu
kedatangannya, berharap esok bukanlah hari terakhir aku bertemu dengannya.
*****
Mercedes Benz hitam metalik meluncur memasuki halaman
rumahku. Aku tersentak melihat mobil yang sangat kukenal itu. Hatiku
berdebar-debar tidak karuan. Kupasang wajah tidak peduliku, dan pura-pura
membaca koran pagi. Tidak mengangkat muka seinci pun sampai ia berdiri tegak di
hadapanku. Dan keluarlah suara yang selalu aku rindukan selama 2 minggu ini,
“ tak perlu
pura-pura membaca koran Raka, aku tahu kamu hanya mengalihkan perhatian dariku
padahal sebenarnya kamu rindu aku kan?”. Hatiku makin berdebar kencang.
Begitulah ia, ia tahu apapun bahkan sampai hal terkecil dariku.
Tapi aku tetap pasang wajah tidak peduli, “sudah kau
putuskan jawabannya? Aku menunggumu bukan untuk tujuan lain selain jawabanmu.”
“ya, jawaban yang akan mengubah kehidupanmu.” Tanpa
kupersilakan ia menarik kursi dan duduk dihadapanku. Memandangku lembut dan
menyunggingkan senyum manisnya yang selalu aku suka.
Aku meletakkan koran yang sedang aku pegang. Meskipun
aku bersikap tenang seperti tidak terjadi apapun dan aku sedang tidak menunggu
apapun, keringatku mengalir deras dan tanganku saling meremas saking gugupnya.
Aku yakin ia tahu itu, ia mahir membaca gerakan tubuhku.
“ aku memutuskan untuk meninggalkan hubungan kita
Raka, maaf!”. Ia tertunduk, tak berani menatap mataku. Aku terdiam, membisu.
“Raka? Kamu kecewa?”. Sekarang ia menatapku dengan
penuh belas kasih.
“ kalau kamu menjadi aku kamupun akan merasakan
kekecewaan yang sama sepertiku,”
“ apakah hubungan kita jadi berakhir di sini begitu
saja,?”. Pertanyaan bodoh menurutku.
“sudah tentu!apa lagi yang kau pikirkan?” bentakku
kesal.
“aku berpikir mungkin kita memutuskan pacaran kita
karena aku mau kamu menikah denganku! Tak inginkah kamu Raka?”. Ia tersenyum.
Aku terdiam. Takut ini hanya sebuah lelucon saja.
Ia pun tidak sabar dan mengguncang-guncangkan bahuku
keras, “ impian kita terwujud Raka, kita akan menikah! Aku sudah bercerai dan
setuju kalau aku menikah lagi. Raka, kita akan banyak melalui waktu bersama dan
selama-lamanya Raka, selama-lamanya!”
Aku hanya bengong, tak percaya dengan apa yang dia
katakan. Oh Tuhan? Nyatakah ini?
Dengkulku semakin lemas ketika ia membisikkanku
lembut, “will you marry me?”
Mukaku bersemburat merah, dan tertunduk, “yes, I
will”. Jawabku lirih.
*****
Satu-satunya masalah saat ini buatku adalah bagaimana
caranya agar aku mendapatkan izin untuk menikah dari orang tuaku. Tentu saja
aku harus mendapatkannya. Tidak bisa tidak. Kepalaku sampai pusing
memikirkannya. Situasinya serba salah, kalau aku tidak bilang aku bisa dibilang
anak durhaka, tapi kalau aku bilang yang sebenarnya aku takut mereka shock,
karena jujur saja semua ini memang terburu-buru sekali.
Dengan nekat akhirnya aku memberitahukan perihal aku
ingin menikah pada orang tuaku. Reaksi mereka tidak seperti yang aku bayangkan
sebelumnya, mereka antusias menyambut keinginanku untuk membina rumah tangga
yang sah. Sepertinya mereka memang sudah menunggu saat-saat ini, tidak apa-apa
walaupun sudah pernah menikah, yang penting benar sudah resmi bercerai dan
tidak ada sengketa kepengurusan anak lagi. Bahkan ayah menyuruhku mengajak
calonku datang ke rumah untuk saling mengenal lebih dekat. Akhirnya....
*****
Ketika kuberitahukan kabar itu kepadanya, ia juga
sangat antusias. Ia menyanggupi untuk datang nanti siang. Yang ia khawatirkan
adalah apakah kedua orang tuaku akan menerima ia apa adanya? Kujawab pasti
orang tuaku menerima, orang tuaku tidak akan tega menghalangi kebahagiannku.
Ibuku sudah masak enak untuk menyambut besannya,
ayahku pun sudah berpakaian rapi. Tak sabar menunggu calon mantunya datang. Suara
klakson berbunyi nyaring menandakan kehadirannya. Aku berlari ke pintu depan,
dan membimbingnya masuk, lalu mengenalkannya pada orang tuaku,
“ayah, ibu, kenalin ini calon Raka”.
Ayah dan ibu hanya memandang tidak percaya kepada
calon yang baru aku kenalkan. Loh? Kenapa mereka? Kenapa sikap mereka jadi
berubah?
“ini...ini..calon kamu Raka?benar? kamu yakin?” ibu
bertanya seolah-olah aku membawa makhluk luar angkasa dari Pluto.
“iya, ibu, ini calon mantu ibu, Eka namanya!”.
Kemudian tanpa kuduga-duga ayah berteriak marah, “
usir dia!keluarkan ia dari rumah ini, jangan pernah datang lagi kesini atau
berhubungan dengan Raka. Usir dia Rakaa!ayah tidak sudi meresmikan hubungan
kalian.”
Eka tersentak kaget tak menyangka reaksi ayahku akan
seekstrim itu. Dari awal sebenarnya Eka sudah khawatir akan hal ini, tapi ia
tidak menyangka kalau akan begini jadinya.
“ayah, tolong jangan lakukan itu. Raka cinta setengah
mati sama Eka! Raka hanya ingin hidup bahagia! Selama ini Raka selalu menuruti
apa mau ayah dan ibu, semua harapan ayah dan ibu selalu Raka penuhi. Tapi
ternyata ayah tega menghancurkan satu-satunya harapan Raka!”. Aku membalas
tidak kalah kasarnya. Wajah Eka pucat, melangkah mundur siap meninggalkan
rumahku.
“sudahlah Raka, mungkin bukan ini jalan yang terbaik
untuk kita. Aku paham kok perasaan ayahmu, aku tahu ia hanya memberikan yang
terbaik buat kamu, tapi mungkin yang terbaik buat kamu bukanlah aku Raka!sudahlah
kita lupakan saja semua impian kita ini”. Lalu ia pun bergegas pergi, masuk ke
mobilnya, dan meniggalkanku untuk selama-lamanya.
“sekali lagi ayah melihat ia disini, tak akan ayah
beri ampun!jangan dekati ia lagi Raka, awas kamu!”
Ia pun lalu masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
Ibuku sudah menangis dari tadi, ibu pun sepertinya kecewa akan keputusanku kali
ini. Ia tidak mau kuajak bicara dan bangkit berdiri membereskan semua
makanan-makanan yang belum tersentuh.
*****
Mungkinkah ia memang bukan jodohku Tuhan? Lalu siapa
jodohku kelak? Akankah aku menemukannya? Atau aku tidak akan pernah
menemukannya?
Di rumah suasananya berbeda dari biasanya, kaku,
seperti ada yang mengganjal. Aku berbicara kepada orang tuaku seperlunya saja.
Tidak ada lagi obrolan-obrolan ringan atau diskusi keluarga seperti dulu lagi.
Sepertinya mereka shock dengan sikapku dan langsung mempengaruhi mereka total.
Oh Tuhan....mengapa akhirnya harus seperti ini?
*****
Akhirnya setelah sebulan mendiamkanku ayahku mau
ngobrol-ngobrol lagi denganku. Yah, walaupun tetap saja aku merasa ada suasana
asing yang kuat. Tapi lama kelamaan kebekuan mulai mencair dan kami dapat
bersenda gurau seperti dulu lagi.
Tak sadar aku melontarkan pertanyaan yang dulu sering
aku ingin tanyakan tapi tak pernah ada keberanian untuk mengungkapkannya, “
kenapa sih ayah benci sekali sama Eka?”. Ayahku langsung menatapku, mengalihkan
pandangannya dan menghela nafas panjang.
“ ayah tidak
pernah melarang kamu untuk bergaul dengan siapapun, kamu mau berpacaran atau
tidak, kamu mau menikah dengan siapa, bahkan kalau pilihan kamu itu sudah
pernah menikah sebelumnya, tapi ada satu yang ayah tidak bisa terima dari sosok
seorang Eka, pilihanmu itu.” Aku menunggu dengan tidak sabar.
“apa, ayah?apa yang ayah tidak bisa terima dari Eka?
Dia mapan, dia perhatian, mandiri, tahu segala-galanya tentang Raka, kurang apa
lagi ayah?”.
Ayah menggaruk-garuk rambutnya dan memejamkan mata
sejenak. Sebelum akhirnya ia membuka matanya dan berkata, “ satu-satunya yang
ayah dan ibu tidak bisa terima dari dia karena ia adalah laki-laki Raka, sama
seperti kamu!”
*****
Eka sudah pergi. Entah kemana, kudengar ia rujuk
kembali dengan istrinya. Biarlah, aku sudah tidak peduli, atau lebih tepatnya
berusaha untuk tidak peduli. Tentu saja, sulit untuk melupakan 6 bulan kisah
cintaku bersamanya. Dia adalah cinta sejatiku.
Ayah dan ibu berusaha menyembuhkan penyakitku ini.
Tapi semua nihil!tidak ada satu wanita pun yang aku sukai. Tidak ada
getaran-getaran aneh kalau aku berdekatan dengan seorang wanita, secantik
apapun ia. Percuma ayah, percuma ibu, aku hanya merasakan
getaran-getaran cinta kalau aku sedang bersama Eka, hanya dia......
Tapi aku sudah tidak mungkin mendapatkan ia lagi. Aku
tidak mau mencintai orang selain Eka, tidak mau! Karena dialah satu-satunya
yang memahami aku, dia matahariku.
Tolong aku, tolong aku Eka! Kamu dimana? Tak maukah kamu membagikan sinarmu
lagi padaku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar