DIARY KE EMPAT
Oleh : Ina Pridina
Isak tangis
masih mengiringiku pulang dari pemakaman bahkan sampai ke rumah. Sulit
kupercaya, Risa, sahabat terbaikku pergi selama-lamanya meninggalkan dunia ini.
Kematiannya begitu mendadak. Bukan karena sakit, Risa tidak menderita penyakit
apa pun. Justru aku yang mengidap penyakit gawat, aku menderita sirosis.
Meskipun begitu, Risa setia menemaniku bahkan sampai akhir hayatnya.
Risa meninggal
karena melindungiku dari tabrakan maut akibat pengendara yang mabuk. Kejadiannya
begitu cepat dan tidak terduga sama sekali. Awalnya aku yang disambar motor
oleng itu, tapi Risa melindungiku sekuat tenaganya. Aku mendapat luka berat
sedangkan Risa nyawanya sudah tidak tertolong lagi.
Aku tidak
percaya. Ini tidak adil. Kalau memang kejadiannya seperti itu, harusnya aku
yang mati. Bukan Risa. Bukan Risa. Dia tidak pantas menerimanya. Kembalikan
Risa!
*****
Aku dan Risa
berteman sejak kecil. Kami selalu bersama. Kami bermain bersama, makan bersama,
bahkan bergantian menginap. Kadang aku menginap di rumah Risa, kadang Risa yang
menginap di rumahku. Pokoknya kami tidak terpisahkan. Bahkan orang tua kami
juga bersahabat erat. Kami bisa bebas pergi kemana pun kami suka tanpa takut
dimarahi.
Hingga SMP pun
kami tetap bersahabat erat. Meskipun aku dan Risa berbeda kelas. Kami pergi ke
sekolah bersama, janjian pergi ke kantin bareng, pulang sekolah bareng, bahkan
ekskul kami pun sama. Aku tak pernah merasa bosan bersamanya, Risa pun selalu
mengatakan bahwa aku adalah teman terbaiknya.
Bahkan kami pun
sempat menyukai cowok yang sama. Aku selalu tersenyum sendiri kalau mengingat
hal itu. Kadangkala kami bercekcok gara-gara hal itu, bahkan aku sampai
membohongi sahabatku sendiri gara-gara keinginanku memiliki cowok ini. Satu hal
yang paling aku sesalkan.
Kelas 3 SMP, aku
mulai terkena kanker hati. Awalnya ringan, dan aku tidak menyangka sama sekali
kalau aku mengidap penyakit ini. Selama ini tidak ada tanda-tandanya bahwa aku
akan menderita penyakit kanker hati. Aku benar-benar tidak percaya akan kenyataan
ini. Aku sempat merasa stres dan frustasi karena divonis menderita kanker hati.
Tetapi pada saat-saat rapuh seperti ini Risa selalu mendampingiku dan memberi
semangat padaku. Hingga aku bisa bangkit lagi.
Sejak saat itu,
Risa tak pernah jauh-jauh dariku, ia juga rajin mengingatkanku untuk istirahat
dan minum obat. Perhatiannya sudah seperti perhatian orang tuaku. Ya Tuhan,
betapa beruntungnya aku memiliki sahabat sebaik Risa.
*****
Keluar masuk
rumah sakit sudah bukan hal aneh bagiku. Kanker ku semakin ganas, dan sudah
menyebar. Kadang-kadang aku merasa lemas sekali, seolah-olah aku akan mati saat
itu juga. Tapi Risa selalu ada untuk mengingatkanku bahwa aku masih bisa hidup,
masih bisa bertahan.
Saat itu aku
sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Aku tidak peduli. Aku sadar akan segera
diadakan UAN, tapi aku tidak mampu berbuat apa-apa.
Di saat itulah
orang tuaku serta Risa setengah mati membujuk pihak sekolah agar aku
mendapatkan keringanan untuk mengikuti UAN. Dan usaha mereka tidak sia-sia, aku
mengikuti UAN di rumah sakit. Aku tidak sempat mempelajari semua materi dengan
baik, akibat ketidak mampuan ku untuk belajar optimal. Tapi untunglah aku lulus
dengan nilai yang cukup memuaskan.
Lulus UAN, aku
berangsur-angsur sembuh dan merasa baikan. Hingga akhirnya aku diperbolehkan
pulang. Aku pun menikmati liburanku di rumah saja, karena kondisiku yang tidak
memungkinkan untuk pergi keluar.
*****
Ada satu
kebiasaanku dengan Risa yang dilakukan sejak kelas 5 SD, yaitu menulis diary.
Aku dan Risa setiap hari bergantian menceritakan kisah-kisah yang kami alami
hari itu. Baik hal yang menyenangkan ataupun tidak. Kami juga saling curhat
tentang kebiasaan masing-masing bahkan sampai nilai jelek juga kami ceritakan
karena kami tidak berani mengatakannya pada orang tua kami.
Beranjak remaja,
yang kami ceritakan dalam diary juga bervariasi. Tidak melulu soal pengalaman
sehari-hari atau nilai jelek. Kami mulai menceritakan soal lelaki dan gebetan
kami. Lucunya, meskipun aku dan Risa pernah menyukai lelaki yang sama, kami
tetap menuliskannya dalam diary tentang perasaan kami.
Ketika aku
sakit, lelaki yang sama-sama kami sukai ini menunjukkan perhatiannya yang lebih
padaku tanpa Risa tahu. Ia sering menjengukku di Rumah Sakit disaat tidak ada
Risa. Entah ia memang merencanakan hal itu, atau tidak. Aku merasa senang atas
perhatiannya. Hatiku berdebar-debar tiap kali ia datang, kadang ia membawakan
bunga, kadang ia juga membawakan makanan kesukaanku. Hal itu tetap berlanjut
hingga aku pulang dari Rumah Sakit. Ia sering mengunjungiku ke rumah bahkan
orang tuaku pun sudah akrab dengannya.
Aku tidak
menuliskan hal ini di diary. Aku tidak siap menerima reaksi Risa. Baru kali ini
aku merahasiakan sesuatu dari Risa.
Walaupun aku
merahasiakannya, Risa sepertinya aware
dengan perubahan diriku saat ini. Ia mengatakan padaku kalau ada yang berbeda
dari diriku. Aku dengan tegas menyangkalnya dan mengatakan pada Risa bahwa aku
tidak apa-apa dan tidak ada yang kurahasiakan darinya.
*****
Awal masuk SMA,
aku jadian dengan lelaki yang sama-sama aku dan Risa sukai. Tapi aku belum
mengatakannya pada Risa. Aku bingung bagaimana mengatakannya. Aku takut Risa
tidak terima kenyataan ini dan kemudian membenciku. Aku tidak mau kalau hal ini
sampai terjadi. Jadi aku memutuskan untuk tidak mengatakan padanya kalau aku
sudah jadian.
Rio, lelaki yang
sama-sama kami sukai dan sekarang berpacaran denganku, ingin supaya aku bilang
yang sejujurnya saja kepada Risa. Karena di depan Risa, aku memang selalu
meminta Rio untuk bersikap jangan seperti orang yang pacaran, aku tidak mau
menyakiti hatinya. Rio tidak mau terus-terusan backstreet seperti ini. Ia
merasa kalau diriku sepertinya malu berpacaran dengannya. Kuyakinkan Rio bahwa
bukan itu maksudku dan kukatakan sejujurnya bahwa Risa menyukainya dan tak
ingin ia sakit hati atas perlakuanku ini. Rio akhirnya setuju meskipun dengan
berat hati.
*****
Sudah hampir
setahun aku berpacaran dengan Rio. Dan selama setahun juga aku merahasiakannya
dari Risa. Kami tetap rutin menulis diary tapi aku tetap tidak mampu menuliskan
soal diriku dengan Rio.
Karena aku sudah
tidak pernah menuliskan apa-apa lagi tentang Rio, Risa berpendapat kalau aku
sudah tidak menyukainya lagi. Ia pernah menanyakan hal itu, dan aku
berbohong kepadanya kalau aku memang
sudah tidak menyukai Rio lagi. Risa pun semakin bersemangat dalam usahanya
mengejar Rio bahkan meminta dukunganku. Aku terpaksa mengiyakannya agar
terlihat seperti tidak apa-apa antara aku dan Rio. Sungguh, saat itu aku merasa
kalau aku adalah orang yang paling munafik di dunia.
*****
Rio mengadu
padaku bahwa ia keberatan atas perlakuan Risa yang mendekatinya terus-menerus.
Ia memohon padaku agar aku mengatakan hal yang sebenarnya saja pada Risa. Tapi
aku tidak mau, aku tidak mau menghancurkan persahabatanku dengan Risa yang
terjalin sekian lama. Rio menasehatiku bukan itu caranya untuk tetap
melanggengkan persahabatan, justru harusnya aku jujur apapun keadaannya. Akan
lebih menyakitkan kalau Risa tahu hal ini dari orang lain, dibandingkan dari
aku sendiri. Sama saja aku sudah mengkhianati persahabatan kalau terus-menerus
merahasiakan ini darinya. Tapi aku tetap tidak sanggup untuk mengatakannya
langsung pada Risa. Rio menghela nafas panjang dan memberikan semangat padaku
bahwa aku pasti kuat untuk melakukannya. Ia akan membantuku pelan-pelan.
*****
Kuakui, aku
memang bermental lemah. Aku tetap tidak sanggup mengatakannya pada Risa. Yang
terjadi justru sesuatu yang tidak kuharapkan. Aku malah menjelek-jelekkan Rio
didepan Risa dengan harapan Risa berhenti menyukai Rio dan menjauhinya.
Awalnya, ia
bingung kenapa aku tiba-tiba menjelekkan Rio. Tapi aku terus meyakinkannya
untuk menjauhi Rio dan mencari lelaki lain saja. Karena perkataanku yang
meyakinkan, dan karena memang aku sekelas dengan Rio, Risa pun akhirnya
terpengaruh dan percaya karena aku yang lebih sering melihat Rio setiap hari.
Ia berterima
kasih padaku karena tidak jadi mengejar Rio yang sering berperilaku negatif
terhadap perempuan, bahkan kukatakan Rio sering bermain cewek dan sering
gonta-ganti pacar. Oh Rio, maafkan aku!
*****
Saat ini Risa
sudah berhenti mengejar-ngejar Rio. Memasuki liburan semester ini, aku lebih
banyak meluangkan waktuku dengan Rio. Hanya sesekali aku jalan dengan Risa.
Kukatakan padanya bahwa aku punya kesibukan lain saat ini dan tidak bisa
sering-sering jalan bersamanya.
Rio merasa
senang karena Risa sudah tidak lagi mengejar-ngejarnya. Ia menganggap aku sudah
menceritakan yang sebenarnya pada Risa. Tak berani kukatakan apa yang telah
kulakukan agar Risa berhenti mengejar-ngejarnya. Aku hanya tersenyum dan
berkata padanya agar tidak usah memikirkan hal itu lagi.
*****
Memasuki tahun
ajaran baru, aku menyempatkan diri untuk menulis kesibukanku seperti biasa
dalam diary penghubung kami. Sudah seminggu aku tidak menulis. Meskipun begitu
Risa tetap menulis seperti biasa. Ia heran mengapa akhir-akhir ini aku seperti
melupakannya. Ia menilik pasti ada sesuatu pada diriku. Aku hanya tertawa dan
mengatakan padanya kalau ia berlebihan dan tidak ada apa-apa pada diriku. Aku
tidak mungkin bilang padanya kalau aku tidak sempat menulis karena jalan sama
Rio. Lagipula apa yang mau kutulis di diary itu? Kencanku dengan Rio? Tidak
mungkin kan?
Akhirnya untuk
menebus kesalahanku, aku menulis sebanyak-banyaknya di diary itu. 80% adalah
hasil karanganku sendiri. Entah mengapa saat ini aku merasa bosan menulis, dan
rasanya konyol sekali di jaman sekarang masih tukar-tukaran diary. Sementara
teman-teman yang lain sudah asyik dengan laptop dan teknologi canggih lainnya.
Walau kuakui menulis diary memang berbeda dan lebih orisinil, tapi tetap aku
merasa ini sia-sia saja. Kuputuskan ini adalah kali terakhir aku menulis di
diary. Aku tidak peduli apakah Risa setuju atau tidak atas keputusanku ini.
Kutulis di akhir
tulisanku, Risa sayang, tidakkah kamu
merasa jenuh harus menulis terus? setiap hari harus melaporkan apa pun yang
kita lakukan. Bukankah kita tetap butuh privacy untuk kita sendiri? Tak perlu
orang lain tahu apa yang kita lakukan! Aku harap kamu mengerti Risa. Bukan aku
tak percaya padamu, tapi aku merasa harus ada yang kusimpan sendiri.
Your friend, Nina.
*****
Sejak saat itu
tidak ada cerita-cerita di diary lagi. Risa sepertinya paham atas permintaanku.
Ia pun berhenti menulis diary. Bukan hanya itu, ia pun seperti menjauhiku. Ada
apa ini? Kenapa Risa sekarang menjauhiku? Masa hanya gara-gara diary ia jadi
memusuhiku? Ah sudahlah, nanti aku juga tahu sendiri mengapa Risa seperti ini
sekarang.
Anehnya, aku
tidak terlalu meresahkan kerenggangan hubunganku dengan Risa. Selama Risa tidak
ada, aku semakin sering bersama Rio. Ke kantin, perpustakaan, bahkan sekedar
menemaninya bermain basket. Tidak ada Risa, masih ada Rio yang akan selalu
mendampingiku.
*****
3 bulan setelah
Risa menjauhiku, akhirnya ia menghubungiku lagi. Ia memintaku untuk datang ke
taman kota tempat biasa kami bersantai dulu. Ia berkata akan memberikanku
sesuatu. Aku pun menyetujuinya, dan pergi tanpa firasat apapun. Tanpa kusadari
itulah awal bencana yang menimpa Risa.
Aku tiba lebih
dulu ke taman. Aku duduk di bangku taman sambil memandangi anak-anak yang berlarian
di depanku. Pikiranku melayang ke masa kecilku dulu, bersama Risa. Kami juga
sering berlari-lari di taman, lalu setelah itu kami makan es krim bersama. Aku
tersenyum mengingat kenangan yang tiba-tiba muncul. Tak lama kemudian dari
kejauhan terlihat satu sosok yang sangat kukenal, Risa.
Kuperhatikan
wajahnya, ia tidak seceria biasanya. Ia menghampiriku dengan cepat dan ketika
tiba di depanku, ia langsung memberikan diary terakhir kami padaku. Aku
bingung, mengapa ia memberikannya padaku? Tapi Risa tidak berkata apa-apa, ia
hanya menyuruhku untuk membaca lembaran terakhir. Dan kemudian ia langsung
membalikkan badannya dan pergi begitu saja. Aku semakin heran? Kenapa dia?
Aku masih
diliputi keheranan ketika tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang menyentakku.
Sakitku kambuh lagi! Aku terduduk lemas sambil memegangi dadaku!
Orang-orang mulai panik melihatku, dan
berusaha menolongku. Tapi aku hanya menggeleng dan berusaha bangun dan pergi.
Aku ingin pulang!
Belum sempat aku
menyebrang, aku sudah terduduk lagi di pinggir jalan. Tidak kuat menahan rasa
sakit. Saat itulah kulihat motor melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi. Aku
tidak terlalu cemas karena posisiku sendiri berada di pinggir jalan, bukan di
tengah. Tapi lama kelamaan aku menyadari
kalau motor itu makin mendekati aku. Hei! Ada apa dengannya? Tidakkah ia sadar
kalau ia berjalan terlalu pinggir?
Aku berusaha
bangkit, tapi rasa sakitku makin menjadi-jadi, aku merasa sepertinya inilah
akhir hidupku. Tapi ternyata ini belum menjadi akhir hidupku, seseorang
menyambar tubuhku dan mendorongku sebelum tubuhku habis dibabat motor limbung
itu. Sebelum pingsan aku melihat Risa, memelukku erat.
*****
Itulah awal
bencana yang harus dialami Risa, teman sejak kecilku. Ia meninggal karena
menyelamatkanku. Bahkan aku belum sempat meminta maaf padanya. Meminta maaf
atas kebohongan dan egoisku selama ini. Teringat semua kesalahanku padanya.
Bagaimana aku membohonginya, mendustainya, menjauhinya, bahkan memutuskan
persahabatan kami secara sepihak. Dan sekarang, aku hanya bisa menangis dan
bersimpuh memohon maaf di pusaramu Risa!
*****
Aku menjalani
hari-hariku tidak sesemangat dulu lagi. Rio berusaha menenangkanku sebisanya.
Dan aku masih bersyukur ia tidak meninggalkanku di saat ku membutuhkannya.
Setidaknya belum, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau aku mengatakan hal
yang sebenarnya.
Tiba-tiba aku
teringat diary yang Risa berikan padaku yang belum sempat kubaca. Aku
membongkar-bongkar rak bukuku dan berusaha mencari diary terakhir kami.
Akhirnya setelah sekian lama ku mencari ketemu juga di antara tumpukan
file-fileku.
Dengan tidak
sabar, aku langsung membuka diary itu ke bagian akhirnya. Aku yakin Risa
menulis sesuatu di situ. Tepat seperti apa yang kuduga, ia menuliskan sesuatu
di akhir tulisanku, kubaca dengan perlahan,
Dear Nina,
Akhirnya apa yang kukhawatirkan terjadi juga. Kamu
mulai jenuh atas kebiasaan rutin kita selama ini. Tapi tidak apa-apa, aku
mengerti kok. Sudah saatnya kita menjaga rahasia kita masing-masing. Kamu
benar, ada hal-hal yang harusnya kita simpan sendiri, hanya untuk kita sendiri.
Kalau dihitung-hitung, ini adalah diary ketiga kita Nina. Sadarkah kamu, aku
pun tidak menyangka kalau kita sudah menulis sebanyak itu. Dari kelas 5 SD
sampai kita kelas 2 SMA. Kamu selalu menuliskan cerita seru di diary kita. Aku
selalu senang membaca kisahmu Nina. Apakah kamu juga senang membaca kisahku?
Ah, mungkin kamu malah bosan ya membaca ceritaku, hehhehe!
Aku tahu,ada sesuatu yang kamu tutupi dariku. Kamu
pacaran kan dengan Rio? Tapi kamu bohong padaku bahkan sengaja
menjelek-jelekkan Rio di depanku. Aku marah sekali mengetahui hal itu Nina. Aku
bukan marah karena kau pacaran dengan Rio, tapi aku marah karena kau tidak
pernah mau jujur padaku selama ini! Kamu tidak mau berterus terang apa yang
terjadi sebenarnya! Itu yang paling menyakitkan buatku Nina. Aku kecewa kamu
tidak mempercayai persahabatan kita.
Aku yakin kamu mengerti. Aku Cuma ingin mengingatkan
ini padamu, jangan sering menutupi kenyataan Nina. Apalagi menutupinya dengan
berbohong. Sekarang hanya aku yang kau sakiti, aku masih memaafkanmu. Tapi
bagaimana kalau itu terjadi pada orang lain? Dan akhirnya mereka membencimu?
Kamu tidak mau kan hal itu terjadi padamu?
Risa.
Risa, Risa!
maafkan aku, aku memang tidak bisa menjadi sahabatmu. Aku tidak pantas menjadi
sahabatmu!
*****
Aku pergi ke
rumah Risa keesokan harinya. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku terpikir untuk
pergi ke rumah Risa. Aku tiba-tiba merasa kangen ingin membaca diary aku dan
Risa yang lain.
Sesampainya di
rumah Risa, aku disambut oleh ibunya. Kulihat raut kesedihan tergambar jelas di
wajahnya. Maafkan aku tante, aku telah membuatmu kehilangan seorang permata
secantik dan sebaik Risa! Dengan dalih mengambil buku yang Risa pinjam, aku
dipersilakan ke kamar Risa.
Aku memasuki
kamar Risa. Tetap rapi seperti biasanya. Kuliihat foto-fotoku dengan Risa
terpajang rapi di dinding kamar Risa. Aku semakin sedih mengingat semua
kenanganku dengan Risa yang tak akan kembali. Kuhampiri lemari bukunya dan
mencari dua diary antara aku dan Risa. Akhirnya kutemukan juga diarynya di
pojokan. Kutarik kedua diary itu secara bersamaan. Dan seiring ku menarik
diary-diary itu, ada sesuatu yang jatuh. Kuambil buku yang jatuh itu dan
sekilas kulihat sampulnya.
Buku itu
sederhana saja. Seperti buku keluaran lama. Warnanya pun coklat kusam. Tapi aku
justru semakin penasaran apa isinya. Untuk apa Risa memiliki buku seperti ini?
Isinya ternyata
catatan harian Risa. Seperti diary. Bedanya aku tidak ikut andil di dalamnya.
Ini seperti buku harian pribadi Risa. Aku membalik halamannya dengan cepat,
sampai kutemukan satu catatan yang Risa tulis. Uniknya tulisan itu tentang aku.
Buat apa Risa menulis tentang diriku di catatan pribadinya?
Aku terus
membuka lembaran selanjutnya. Sampai lembaran terakhir ternyata semuanya
tulisan tentang aku. Aku menaruh kembali buku itu di tempatnya semula. Bergegas
pulang. Bahkan aku sampai lupa niatku untuk mengulas balik kenanganku bersama
Risa. Apa yang aku temukan di catatan pribadi Risa sungguh sangat
mengejutkanku.
*****
Di depanku saat
ini ada Rio yang tidak percaya memandang ke arahku. Ia tidak percaya apa yang
barusan kukatakan. Risa, sahabat baikku, sahabatku sejak kecil, ternyata sangat
membenciku! Risa menuliskan dalam diarynya kalau ia selalu membenci apa yang
selalu kudapatkan. Ia selalu iri atas semua kebahagiaan yang selalu aku dapat.
Ia menuliskan kalau aku sebenarnya tidak bisa apa-apa, tetapi selalu
mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan. Sementara ia selalu berusaha keras tapi
tak pernah mendapatkannya.
Sejak kecil, Risa
selalu iri kalau aku dibelikan mainan baru. Iri kalau aku diajak jalan-jalan ke
tempat yang jauh. Iri kalau aku dipuji-puji karena berkelakuan baik.
Ketika SMP, Risa
iri padaku karena aku menjadi bintang kelas. Ia iri karena tidak pernah
mendapatkan rangking satu di kelas. Ia iri karena aku lebih banyak mendapatkan
perhatian guru-guru. Bahkan ketika aku sakit pun ia iri karena aku mendapatkan
perhatian yang banyak. Ia pun iri mengetahui aku lulus dengan nilai yang cukup
tinggi ketika UAN padahal aku tidak segiat ia belajarnya.
Rasa iri yang
memuncak terjadi ketika masa SMA. Dimana aku selalu terlihat ceria dan banyak
mendapatkan teman. Memang Risa tidak sesupel aku dalam pergaulan. Tapi aku
tidak menyangka kalau itu akan membuatnya iri setengah mati padaku. Rasa irinya
semakin bertambah ketika ia tahu aku berpacaran dengan Rio. Ternyata semua yang
ia tulis di diary terakhir kami hanya bualan belaka. Ia membenciku karena aku
berpacaran dengan Rio, lelaki yang selalu Risa harapkan untuk dimiliki. Tapi
lagi-lagi, aku yang mendapatkannya. Saking bencinya Risa padaku, ia bahkan
sudah berencana untuk membunuhku! Ia sudah merencanakan skenario pembunuhan
padaku. Aku sendiri tidak mengerti kalau pada akhirnya justru Risa yang
menyelamatkanku di detik-detik terakhirnya.
Apapun yang
terjadi, Risa tetap sahabatku, sahabat terbaikku. Sejahat apapun ia. Akupun
salah tidak peduli pada keadaannya selama ini. Selamat jalan Risa, aku
memaafkanmu dan kumohon tolong
maafkanlah aku juga!
*****
Aku hanya
tertegun memandangi ketiga diary di depanku. Kemarin orang tua Risa pindah dan
menyerahkan diary kenanganku dengan Risa. Bagiku, ketiga diary ini tidak ada
maknanya lagi sekarang, hanya coretan-coretan palsu antara aku dengannya. Cuma
ada satu diary yang mengungkapkan satu kejujuran, diary keempat bersampul
coklat kusam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar