Jumat, 13 April 2012

Short Story 1

sobat sobat Lasst Aktien, sekarang saya mau bagi-bagi cerita yang saya buat duluuuuuuuu sekali,,hehehehe..maaf ya baru di post sekarang! ini asli loh buatan saya sendiri,heehehe,silakan dibaca baca yaa,,kalau emang para sobat-sobat merasa, ni kok kaya begini si??kayanya lebih bagus kalo kaya gini deh!!silakan aja di komen, atau mau kasih saran-saran silakan banget!!hehehe...tapi kalo mau komen atau kritik harap menggunakan bahasa yang sopan dan ada solusinya yaa,,jangan cuma mencaci maki tanpa solusi, oke?? silakan dibaca yaaa.....


DIARY KE EMPAT
Oleh : Ina Pridina
Isak tangis masih mengiringiku pulang dari pemakaman bahkan sampai ke rumah. Sulit kupercaya, Risa, sahabat terbaikku pergi selama-lamanya meninggalkan dunia ini. Kematiannya begitu mendadak. Bukan karena sakit, Risa tidak menderita penyakit apa pun. Justru aku yang mengidap penyakit gawat, aku menderita sirosis. Meskipun begitu, Risa setia menemaniku bahkan sampai akhir hayatnya.
Risa meninggal karena melindungiku dari tabrakan maut akibat pengendara yang mabuk. Kejadiannya begitu cepat dan tidak terduga sama sekali. Awalnya aku yang disambar motor oleng itu, tapi Risa melindungiku sekuat tenaganya. Aku mendapat luka berat sedangkan Risa nyawanya sudah tidak tertolong lagi.
Aku tidak percaya. Ini tidak adil. Kalau memang kejadiannya seperti itu, harusnya aku yang mati. Bukan Risa. Bukan Risa. Dia tidak pantas menerimanya. Kembalikan Risa!
*****
Aku dan Risa berteman sejak kecil. Kami selalu bersama. Kami bermain bersama, makan bersama, bahkan bergantian menginap. Kadang aku menginap di rumah Risa, kadang Risa yang menginap di rumahku. Pokoknya kami tidak terpisahkan. Bahkan orang tua kami juga bersahabat erat. Kami bisa bebas pergi kemana pun kami suka tanpa takut dimarahi.
Hingga SMP pun kami tetap bersahabat erat. Meskipun aku dan Risa berbeda kelas. Kami pergi ke sekolah bersama, janjian pergi ke kantin bareng, pulang sekolah bareng, bahkan ekskul kami pun sama. Aku tak pernah merasa bosan bersamanya, Risa pun selalu mengatakan bahwa aku adalah teman terbaiknya.
Bahkan kami pun sempat menyukai cowok yang sama. Aku selalu tersenyum sendiri kalau mengingat hal itu. Kadangkala kami bercekcok gara-gara hal itu, bahkan aku sampai membohongi sahabatku sendiri gara-gara keinginanku memiliki cowok ini. Satu hal yang paling aku sesalkan.
Kelas 3 SMP, aku mulai terkena kanker hati. Awalnya ringan, dan aku tidak menyangka sama sekali kalau aku mengidap penyakit ini. Selama ini tidak ada tanda-tandanya bahwa aku akan menderita penyakit kanker hati. Aku benar-benar tidak percaya akan kenyataan ini. Aku sempat merasa stres dan frustasi karena divonis menderita kanker hati. Tetapi pada saat-saat rapuh seperti ini Risa selalu mendampingiku dan memberi semangat padaku. Hingga aku bisa bangkit lagi.
Sejak saat itu, Risa tak pernah jauh-jauh dariku, ia juga rajin mengingatkanku untuk istirahat dan minum obat. Perhatiannya sudah seperti perhatian orang tuaku. Ya Tuhan, betapa beruntungnya aku memiliki sahabat sebaik Risa.
*****
Keluar masuk rumah sakit sudah bukan hal aneh bagiku. Kanker ku semakin ganas, dan sudah menyebar. Kadang-kadang aku merasa lemas sekali, seolah-olah aku akan mati saat itu juga. Tapi Risa selalu ada untuk mengingatkanku bahwa aku masih bisa hidup, masih bisa bertahan.
Saat itu aku sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Aku tidak peduli. Aku sadar akan segera diadakan UAN, tapi aku tidak mampu berbuat apa-apa.
Di saat itulah orang tuaku serta Risa setengah mati membujuk pihak sekolah agar aku mendapatkan keringanan untuk mengikuti UAN. Dan usaha mereka tidak sia-sia, aku mengikuti UAN di rumah sakit. Aku tidak sempat mempelajari semua materi dengan baik, akibat ketidak mampuan ku untuk belajar optimal. Tapi untunglah aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.
Lulus UAN, aku berangsur-angsur sembuh dan merasa baikan. Hingga akhirnya aku diperbolehkan pulang. Aku pun menikmati liburanku di rumah saja, karena kondisiku yang tidak memungkinkan untuk pergi keluar.
*****
Ada satu kebiasaanku dengan Risa yang dilakukan sejak kelas 5 SD, yaitu menulis diary. Aku dan Risa setiap hari bergantian menceritakan kisah-kisah yang kami alami hari itu. Baik hal yang menyenangkan ataupun tidak. Kami juga saling curhat tentang kebiasaan masing-masing bahkan sampai nilai jelek juga kami ceritakan karena kami tidak berani mengatakannya pada orang tua kami.
Beranjak remaja, yang kami ceritakan dalam diary juga bervariasi. Tidak melulu soal pengalaman sehari-hari atau nilai jelek. Kami mulai menceritakan soal lelaki dan gebetan kami. Lucunya, meskipun aku dan Risa pernah menyukai lelaki yang sama, kami tetap menuliskannya dalam diary tentang perasaan kami.
Ketika aku sakit, lelaki yang sama-sama kami sukai ini menunjukkan perhatiannya yang lebih padaku tanpa Risa tahu. Ia sering menjengukku di Rumah Sakit disaat tidak ada Risa. Entah ia memang merencanakan hal itu, atau tidak. Aku merasa senang atas perhatiannya. Hatiku berdebar-debar tiap kali ia datang, kadang ia membawakan bunga, kadang ia juga membawakan makanan kesukaanku. Hal itu tetap berlanjut hingga aku pulang dari Rumah Sakit. Ia sering mengunjungiku ke rumah bahkan orang tuaku pun sudah akrab dengannya.
Aku tidak menuliskan hal ini di diary. Aku tidak siap menerima reaksi Risa. Baru kali ini aku merahasiakan sesuatu dari Risa.
Walaupun aku merahasiakannya, Risa sepertinya aware dengan perubahan diriku saat ini. Ia mengatakan padaku kalau ada yang berbeda dari diriku. Aku dengan tegas menyangkalnya dan mengatakan pada Risa bahwa aku tidak apa-apa dan tidak ada yang kurahasiakan darinya.
*****
Awal masuk SMA, aku jadian dengan lelaki yang sama-sama aku dan Risa sukai. Tapi aku belum mengatakannya pada Risa. Aku bingung bagaimana mengatakannya. Aku takut Risa tidak terima kenyataan ini dan kemudian membenciku. Aku tidak mau kalau hal ini sampai terjadi. Jadi aku memutuskan untuk tidak mengatakan padanya kalau aku sudah jadian.
Rio, lelaki yang sama-sama kami sukai dan sekarang berpacaran denganku, ingin supaya aku bilang yang sejujurnya saja kepada Risa. Karena di depan Risa, aku memang selalu meminta Rio untuk bersikap jangan seperti orang yang pacaran, aku tidak mau menyakiti hatinya. Rio tidak mau terus-terusan backstreet seperti ini. Ia merasa kalau diriku sepertinya malu berpacaran dengannya. Kuyakinkan Rio bahwa bukan itu maksudku dan kukatakan sejujurnya bahwa Risa menyukainya dan tak ingin ia sakit hati atas perlakuanku ini. Rio akhirnya setuju meskipun dengan berat hati.
*****
Sudah hampir setahun aku berpacaran dengan Rio. Dan selama setahun juga aku merahasiakannya dari Risa. Kami tetap rutin menulis diary tapi aku tetap tidak mampu menuliskan soal diriku dengan Rio.
Karena aku sudah tidak pernah menuliskan apa-apa lagi tentang Rio, Risa berpendapat kalau aku sudah tidak menyukainya lagi. Ia pernah menanyakan hal itu, dan aku berbohong  kepadanya kalau aku memang sudah tidak menyukai Rio lagi. Risa pun semakin bersemangat dalam usahanya mengejar Rio bahkan meminta dukunganku. Aku terpaksa mengiyakannya agar terlihat seperti tidak apa-apa antara aku dan Rio. Sungguh, saat itu aku merasa kalau aku adalah orang yang paling munafik di dunia.
*****
Rio mengadu padaku bahwa ia keberatan atas perlakuan Risa yang mendekatinya terus-menerus. Ia memohon padaku agar aku mengatakan hal yang sebenarnya saja pada Risa. Tapi aku tidak mau, aku tidak mau menghancurkan persahabatanku dengan Risa yang terjalin sekian lama. Rio menasehatiku bukan itu caranya untuk tetap melanggengkan persahabatan, justru harusnya aku jujur apapun keadaannya. Akan lebih menyakitkan kalau Risa tahu hal ini dari orang lain, dibandingkan dari aku sendiri. Sama saja aku sudah mengkhianati persahabatan kalau terus-menerus merahasiakan ini darinya. Tapi aku tetap tidak sanggup untuk mengatakannya langsung pada Risa. Rio menghela nafas panjang dan memberikan semangat padaku bahwa aku pasti kuat untuk melakukannya. Ia akan membantuku pelan-pelan.
*****
Kuakui, aku memang bermental lemah. Aku tetap tidak sanggup mengatakannya pada Risa. Yang terjadi justru sesuatu yang tidak kuharapkan. Aku malah menjelek-jelekkan Rio didepan Risa dengan harapan Risa berhenti menyukai Rio dan menjauhinya.
Awalnya, ia bingung kenapa aku tiba-tiba menjelekkan Rio. Tapi aku terus meyakinkannya untuk menjauhi Rio dan mencari lelaki lain saja. Karena perkataanku yang meyakinkan, dan karena memang aku sekelas dengan Rio, Risa pun akhirnya terpengaruh dan percaya karena aku yang lebih sering melihat Rio setiap hari.
Ia berterima kasih padaku karena tidak jadi mengejar Rio yang sering berperilaku negatif terhadap perempuan, bahkan kukatakan Rio sering bermain cewek dan sering gonta-ganti pacar. Oh Rio, maafkan aku!
*****
Saat ini Risa sudah berhenti mengejar-ngejar Rio. Memasuki liburan semester ini, aku lebih banyak meluangkan waktuku dengan Rio. Hanya sesekali aku jalan dengan Risa. Kukatakan padanya bahwa aku punya kesibukan lain saat ini dan tidak bisa sering-sering jalan bersamanya.
Rio merasa senang karena Risa sudah tidak lagi mengejar-ngejarnya. Ia menganggap aku sudah menceritakan yang sebenarnya pada Risa. Tak berani kukatakan apa yang telah kulakukan agar Risa berhenti mengejar-ngejarnya. Aku hanya tersenyum dan berkata padanya agar tidak usah memikirkan hal itu lagi.
*****
Memasuki tahun ajaran baru, aku menyempatkan diri untuk menulis kesibukanku seperti biasa dalam diary penghubung kami. Sudah seminggu aku tidak menulis. Meskipun begitu Risa tetap menulis seperti biasa. Ia heran mengapa akhir-akhir ini aku seperti melupakannya. Ia menilik pasti ada sesuatu pada diriku. Aku hanya tertawa dan mengatakan padanya kalau ia berlebihan dan tidak ada apa-apa pada diriku. Aku tidak mungkin bilang padanya kalau aku tidak sempat menulis karena jalan sama Rio. Lagipula apa yang mau kutulis di diary itu? Kencanku dengan Rio? Tidak mungkin kan?
Akhirnya untuk menebus kesalahanku, aku menulis sebanyak-banyaknya di diary itu. 80% adalah hasil karanganku sendiri. Entah mengapa saat ini aku merasa bosan menulis, dan rasanya konyol sekali di jaman sekarang masih tukar-tukaran diary. Sementara teman-teman yang lain sudah asyik dengan laptop dan teknologi canggih lainnya. Walau kuakui menulis diary memang berbeda dan lebih orisinil, tapi tetap aku merasa ini sia-sia saja. Kuputuskan ini adalah kali terakhir aku menulis di diary. Aku tidak peduli apakah Risa setuju atau tidak atas keputusanku ini.
Kutulis di akhir tulisanku, Risa sayang, tidakkah kamu merasa jenuh harus menulis terus? setiap hari harus melaporkan apa pun yang kita lakukan. Bukankah kita tetap butuh privacy untuk kita sendiri? Tak perlu orang lain tahu apa yang kita lakukan! Aku harap kamu mengerti Risa. Bukan aku tak percaya padamu, tapi aku merasa harus ada yang kusimpan sendiri.
Your friend, Nina.
*****
Sejak saat itu tidak ada cerita-cerita di diary lagi. Risa sepertinya paham atas permintaanku. Ia pun berhenti menulis diary. Bukan hanya itu, ia pun seperti menjauhiku. Ada apa ini? Kenapa Risa sekarang menjauhiku? Masa hanya gara-gara diary ia jadi memusuhiku? Ah sudahlah, nanti aku juga tahu sendiri mengapa Risa seperti ini sekarang.
Anehnya, aku tidak terlalu meresahkan kerenggangan hubunganku dengan Risa. Selama Risa tidak ada, aku semakin sering bersama Rio. Ke kantin, perpustakaan, bahkan sekedar menemaninya bermain basket. Tidak ada Risa, masih ada Rio yang akan selalu mendampingiku.
*****
3 bulan setelah Risa menjauhiku, akhirnya ia menghubungiku lagi. Ia memintaku untuk datang ke taman kota tempat biasa kami bersantai dulu. Ia berkata akan memberikanku sesuatu. Aku pun menyetujuinya, dan pergi tanpa firasat apapun. Tanpa kusadari itulah awal bencana yang menimpa Risa.
Aku tiba lebih dulu ke taman. Aku duduk di bangku taman sambil memandangi anak-anak yang berlarian di depanku. Pikiranku melayang ke masa kecilku dulu, bersama Risa. Kami juga sering berlari-lari di taman, lalu setelah itu kami makan es krim bersama. Aku tersenyum mengingat kenangan yang tiba-tiba muncul. Tak lama kemudian dari kejauhan terlihat satu sosok yang sangat kukenal, Risa.
Kuperhatikan wajahnya, ia tidak seceria biasanya. Ia menghampiriku dengan cepat dan ketika tiba di depanku, ia langsung memberikan diary terakhir kami padaku. Aku bingung, mengapa ia memberikannya padaku? Tapi Risa tidak berkata apa-apa, ia hanya menyuruhku untuk membaca lembaran terakhir. Dan kemudian ia langsung membalikkan badannya dan pergi begitu saja. Aku semakin heran? Kenapa dia?
Aku masih diliputi keheranan ketika tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang menyentakku. Sakitku kambuh lagi! Aku terduduk lemas sambil memegangi dadaku! Orang-orang  mulai panik melihatku, dan berusaha menolongku. Tapi aku hanya menggeleng dan berusaha bangun dan pergi. Aku ingin pulang!
Belum sempat aku menyebrang, aku sudah terduduk lagi di pinggir jalan. Tidak kuat menahan rasa sakit. Saat itulah kulihat motor melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi. Aku tidak terlalu cemas karena posisiku sendiri berada di pinggir jalan, bukan di tengah. Tapi lama kelamaan  aku menyadari kalau motor itu makin mendekati aku. Hei! Ada apa dengannya? Tidakkah ia sadar kalau ia berjalan terlalu pinggir?
Aku berusaha bangkit, tapi rasa sakitku makin menjadi-jadi, aku merasa sepertinya inilah akhir hidupku. Tapi ternyata ini belum menjadi akhir hidupku, seseorang menyambar tubuhku dan mendorongku sebelum tubuhku habis dibabat motor limbung itu. Sebelum pingsan aku melihat Risa, memelukku erat.
*****
Itulah awal bencana yang harus dialami Risa, teman sejak kecilku. Ia meninggal karena menyelamatkanku. Bahkan aku belum sempat meminta maaf padanya. Meminta maaf atas kebohongan dan egoisku selama ini. Teringat semua kesalahanku padanya. Bagaimana aku membohonginya, mendustainya, menjauhinya, bahkan memutuskan persahabatan kami secara sepihak. Dan sekarang, aku hanya bisa menangis dan bersimpuh memohon maaf di pusaramu Risa!
*****
Aku menjalani hari-hariku tidak sesemangat dulu lagi. Rio berusaha menenangkanku sebisanya. Dan aku masih bersyukur ia tidak meninggalkanku di saat ku membutuhkannya. Setidaknya belum, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau aku mengatakan hal yang sebenarnya.
Tiba-tiba aku teringat diary yang Risa berikan padaku yang belum sempat kubaca. Aku membongkar-bongkar rak bukuku dan berusaha mencari diary terakhir kami. Akhirnya setelah sekian lama ku mencari ketemu juga di antara tumpukan file-fileku.
Dengan tidak sabar, aku langsung membuka diary itu ke bagian akhirnya. Aku yakin Risa menulis sesuatu di situ. Tepat seperti apa yang kuduga, ia menuliskan sesuatu di akhir tulisanku, kubaca dengan perlahan,

Dear Nina,
Akhirnya apa yang kukhawatirkan terjadi juga. Kamu mulai jenuh atas kebiasaan rutin kita selama ini. Tapi tidak apa-apa, aku mengerti kok. Sudah saatnya kita menjaga rahasia kita masing-masing. Kamu benar, ada hal-hal yang harusnya kita simpan sendiri, hanya untuk kita sendiri. Kalau dihitung-hitung, ini adalah diary ketiga kita Nina. Sadarkah kamu, aku pun tidak menyangka kalau kita sudah menulis sebanyak itu. Dari kelas 5 SD sampai kita kelas 2 SMA. Kamu selalu menuliskan cerita seru di diary kita. Aku selalu senang membaca kisahmu Nina. Apakah kamu juga senang membaca kisahku? Ah, mungkin kamu malah bosan ya membaca ceritaku, hehhehe!
Aku tahu,ada sesuatu yang kamu tutupi dariku. Kamu pacaran kan dengan Rio? Tapi kamu bohong padaku bahkan sengaja menjelek-jelekkan Rio di depanku. Aku marah sekali mengetahui hal itu Nina. Aku bukan marah karena kau pacaran dengan Rio, tapi aku marah karena kau tidak pernah mau jujur padaku selama ini! Kamu tidak mau berterus terang apa yang terjadi sebenarnya! Itu yang paling menyakitkan buatku Nina. Aku kecewa kamu tidak mempercayai persahabatan kita.
Aku yakin kamu mengerti. Aku Cuma ingin mengingatkan ini padamu, jangan sering menutupi kenyataan Nina. Apalagi menutupinya dengan berbohong. Sekarang hanya aku yang kau sakiti, aku masih memaafkanmu. Tapi bagaimana kalau itu terjadi pada orang lain? Dan akhirnya mereka membencimu? Kamu tidak mau kan hal itu terjadi padamu?
Risa.
Risa, Risa! maafkan aku, aku memang tidak bisa menjadi sahabatmu. Aku tidak pantas menjadi sahabatmu!
*****
Aku pergi ke rumah Risa keesokan harinya. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku terpikir untuk pergi ke rumah Risa. Aku tiba-tiba merasa kangen ingin membaca diary aku dan Risa yang lain.
Sesampainya di rumah Risa, aku disambut oleh ibunya. Kulihat raut kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Maafkan aku tante, aku telah membuatmu kehilangan seorang permata secantik dan sebaik Risa! Dengan dalih mengambil buku yang Risa pinjam, aku dipersilakan ke kamar Risa.
Aku memasuki kamar Risa. Tetap rapi seperti biasanya. Kuliihat foto-fotoku dengan Risa terpajang rapi di dinding kamar Risa. Aku semakin sedih mengingat semua kenanganku dengan Risa yang tak akan kembali. Kuhampiri lemari bukunya dan mencari dua diary antara aku dan Risa. Akhirnya kutemukan juga diarynya di pojokan. Kutarik kedua diary itu secara bersamaan. Dan seiring ku menarik diary-diary itu, ada sesuatu yang jatuh. Kuambil buku yang jatuh itu dan sekilas kulihat sampulnya.
Buku itu sederhana saja. Seperti buku keluaran lama. Warnanya pun coklat kusam. Tapi aku justru semakin penasaran apa isinya. Untuk apa Risa memiliki buku seperti ini?
Isinya ternyata catatan harian Risa. Seperti diary. Bedanya aku tidak ikut andil di dalamnya. Ini seperti buku harian pribadi Risa. Aku membalik halamannya dengan cepat, sampai kutemukan satu catatan yang Risa tulis. Uniknya tulisan itu tentang aku. Buat apa Risa menulis tentang diriku di catatan pribadinya?
Aku terus membuka lembaran selanjutnya. Sampai lembaran terakhir ternyata semuanya tulisan tentang aku. Aku menaruh kembali buku itu di tempatnya semula. Bergegas pulang. Bahkan aku sampai lupa niatku untuk mengulas balik kenanganku bersama Risa. Apa yang aku temukan di catatan pribadi Risa sungguh sangat mengejutkanku.
*****
Di depanku saat ini ada Rio yang tidak percaya memandang ke arahku. Ia tidak percaya apa yang barusan kukatakan. Risa, sahabat baikku, sahabatku sejak kecil, ternyata sangat membenciku! Risa menuliskan dalam diarynya kalau ia selalu membenci apa yang selalu kudapatkan. Ia selalu iri atas semua kebahagiaan yang selalu aku dapat. Ia menuliskan kalau aku sebenarnya tidak bisa apa-apa, tetapi selalu mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan. Sementara ia selalu berusaha keras tapi tak pernah mendapatkannya.
Sejak kecil, Risa selalu iri kalau aku dibelikan mainan baru. Iri kalau aku diajak jalan-jalan ke tempat yang jauh. Iri kalau aku dipuji-puji karena berkelakuan baik.
Ketika SMP, Risa iri padaku karena aku menjadi bintang kelas. Ia iri karena tidak pernah mendapatkan rangking satu di kelas. Ia iri karena aku lebih banyak mendapatkan perhatian guru-guru. Bahkan ketika aku sakit pun ia iri karena aku mendapatkan perhatian yang banyak. Ia pun iri mengetahui aku lulus dengan nilai yang cukup tinggi ketika UAN padahal aku tidak segiat ia belajarnya.
Rasa iri yang memuncak terjadi ketika masa SMA. Dimana aku selalu terlihat ceria dan banyak mendapatkan teman. Memang Risa tidak sesupel aku dalam pergaulan. Tapi aku tidak menyangka kalau itu akan membuatnya iri setengah mati padaku. Rasa irinya semakin bertambah ketika ia tahu aku berpacaran dengan Rio. Ternyata semua yang ia tulis di diary terakhir kami hanya bualan belaka. Ia membenciku karena aku berpacaran dengan Rio, lelaki yang selalu Risa harapkan untuk dimiliki. Tapi lagi-lagi, aku yang mendapatkannya. Saking bencinya Risa padaku, ia bahkan sudah berencana untuk membunuhku! Ia sudah merencanakan skenario pembunuhan padaku. Aku sendiri tidak mengerti kalau pada akhirnya justru Risa yang menyelamatkanku di detik-detik terakhirnya.
Apapun yang terjadi, Risa tetap sahabatku, sahabat terbaikku. Sejahat apapun ia. Akupun salah tidak peduli pada keadaannya selama ini. Selamat jalan Risa, aku memaafkanmu dan kumohon  tolong maafkanlah aku juga!
*****
Aku hanya tertegun memandangi ketiga diary di depanku. Kemarin orang tua Risa pindah dan menyerahkan diary kenanganku dengan Risa. Bagiku, ketiga diary ini tidak ada maknanya lagi sekarang, hanya coretan-coretan palsu antara aku dengannya. Cuma ada satu diary yang mengungkapkan satu kejujuran, diary keempat bersampul coklat kusam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar