Sabtu, 11 Desember 2010

ISTIHSAN DAN IJMA


Istihsan
Secara etimologis (lughawi / bahasa), istihsan berarti “ memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”. Dari arti lughawi tersebut tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.
Adapun pengertian istihsan secara istilah, ada beberapa definisi istilah istihsan yang dirumuskan ulama ushul. Di antara definisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua pihak, namun diantaranya ada yang diperselisihkan dalam pengamalannya.
1. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu :
A.    Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya
B.     Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.
Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak diperdebatkan karena yang terkuat di antara dua qiyas harus didahulukan. Sedangkan terhadap definisi yang kedua ada pihak yang menolaknya.
2. Istilah istihsan di kalangan ulama Malikiyah di antaranya adalah sebagaimana yang  dikemukakan al-Syatibi : Istihsan dalam mazhab Maliki adalah menggunakan kemashalatan yang bersifat juz’I sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.
Definisi ini mengandung arti bahwa seorang mujtahid semestinya menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dalil yang ada yang bersifat umum.
3. Di kalangan ulama Hanabilah terdapat 3 definisi sebagaimana dikemukakan Ibn Qudamah :
    a.beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding  dengan itu karena adanya dalil khusus dalam Al-Qur’an atau sunnah.
    b.istihsan itu adalah apa-apa yang dianggap lebih baik oleh seorang mujtahid berdasarkan   pemikiran akalnya.
    c.dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang ia tidak mampu menjelaskannya.
4. Di kalangan ulama Hanafiyah istihsan itu ada dua macam yang dikemukakan dalam dua  rumusan seperti dikutip oleh al-Sarkhini :
     a. Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan sesuatu yang syara’  menyerahkannya kepada pendapat kita.
     b. Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar – dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas ini lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.

Macam-macam Istihsan
1.      Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan ada 3 macam

a.       Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas – dhahir kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi. Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi, karena menurut perhitungannya cara itulah yang paling kuat.
b.      Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak digunakan, dan sebagai gantinya digunakan dalil khusus.
c.       Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian.
2.      Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, istihsan terbagi menjadi empat macam :
a.       Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi.
b.      Istihsan yang sandarannya adalah nash.
c.       Istihsan yang sandarannya adalah ‘uruf (adat).
d.      Istihsan yang sandarannya adalah darurat.
3.      Menurut Syatibi, di kalangan mazhab Maliki dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai dengan istislah. Mereka membagi istihsan itu kepada tiga macam

a.       Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf (kebiasaan).
b.      Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan cara lain karena didorong oleh pertimbangan kemashalatan manusia.
c.       Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberikan kemudahan kepada umat.
Kekuatan Istihsan dalam Ijtihad
Dari beberapa definisi dan macam-macam istihsan di atas terlihat bahwa ada bentuk istihsan yang diterima semua pihak dan untuk selanjutnya mempunyai kekuatan dalam ijtihad yaitu istihsan yang diartikan dengan mengamalkan yang terkuat di antara dua dalil, sebagaimana dikemukakan al-Syathibi atau dalam arti “ beralih dari qiyas kepada qiyas yang lebih kuat “ menurut rumusan Ibn Syubki.
Ijma
Secara etimologi , ijma mengandung dua arti :
1.      Ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu.
2.      Dengan arti “sepakat”.
Adapun pengertian ijma dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’I terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau definisi ijma sebagai berikut :
a.       Al-Ghazali merumuskan ijma sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan.
b.      Al-Amidi merumuskan ijma sebagai kesepakatan orang – orang tertentu dari umat Nabi Muhammad. Dalam hal ini orang awam tidak diperhitungkan kesepakatannya. Namun, lebih lanjut Al-Amidi masih memberikan kemungkinan masuknya orang awam dalam penetapan ijma dengan ketentuan ia telah mampu berbuat hukum.
c.       Ulama Syi’ah merumuskan ijma sebagai kelompok atau beberapa orang, dan kelompok itu mempunyai wewenang dalam menetapkan hukum.
d.      Al-Nazham, merumuskan ijma sebagai “ setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’iyah, meskipun ucapan seseorang”
  e.      Rumusan yang lebih mencakup kepada pengertian Ahl al – Sunnah adalah apa yang dikemukakan Abdul Wahab Khallaf, yang juga dikutip ulama lainnya yaitu ijma adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi. Selain itu juga ditentukan kepada hukum yang terjadi, namun tidak tertutup kemungkinan kesepakatan itu berlaku terhadap hukum yang masalahnya belum terjadi, baik dalam bentuk hukum isbat atau hukum naïf.
Kedudukan ijma sebagai dalil hukum
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah al – Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapannya hukumnya dalam al-Qur’an maupun sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar